DESA PANCASILA SEBAGAI WUJUD NYATA MODERASI BERAGAMA DI LAMONGAN

A. Makna Moderasi Beragama

Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah. Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”,  menjadi “moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.

Moderasi beragama merupakan usaha kreatif untuk mengem­bangkan suatu sikap keberagamaan di tengah pelbagai desakan ketegangan (constrains), seperti antara klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi literal dan penolakan yang arogan atas ajaran agama, juga antara radikalisme dan sekularisme. Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan, pada gilirannya, mengimbasi kehidupan persatuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Keragaman dan Keberagamaan Indonesia

Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai kehendak Tuhan. Keragaman tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang Mencipta, bukan untuk ditawar melainkan untuk diterima (taken for granted). Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia.  

Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia itu, dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan kepentingan masing-masing warga bangsa, termasuk dalam beragama. Beruntung kita memiliki satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga berbagai keragaman keyakinan tersebut masih dapat dikomunikasikan, dan karenanya antarwarga bisa saling memahami satu sama lain. Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola keragaman itu tak urung kadang terjadi.

Selain agama dan kepercayaan yang beragam, dalam tiap-tiap agama pun terdapat juga keragaman penafsiran atas ajaran agama, khususnya ketika berkaitan dengan praktik dan ritual agama. Umumnya, masing-masing penafsiran ajaran agama itu memiliki penganutnya yang meyakini kebenaran atas tafsir yang dipraktikkannya.

Pengetahuan atas keragaman itulah yang memungkinkan seorang pemeluk agama akan bisa mengambil jalan tengah (moderat) jika satu pilihan kebenaran tafsir yang tersedia tidak memungkinkan dijalankan. Sikap ekstrem biasanya akan muncul manakala seorang pemeluk agama tidak mengetahui adanya alternatif kebenaran tafsir lain yang bisa ia tempuh. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam beragama.

B. Pancasila sebagai pondasi kerukunan antar umat beragama

Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan antar umat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya., serta dianggap berhasil dalam hal menyandingkan secara harmoni cara beragama sekaligus bernegara. Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang kerap terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa besar, bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Sang Pencipta.

Moderat sering disalahpahami dalam konteks beragama di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti-tidak teguh pendirian, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya. Moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain.

Anggapan keliru lain yang lazim berkembang di kalangan masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama sama artinya dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam teks-­teks keagamaan, sehingga dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, mereka yang beragama secara moderat sering dihadapkan secara diametral dengan umat yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada ajaran agamanya.

C. Desa Pancasila

Pancasila sebagai falsafah bangsa digali dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur, begitu pula dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu contoh yang dapat kita jadikan contoh adalah Desa Balun. Desa yang ada di Lamongan, Jawa Timur, tersebut dijuluki sebagai Desa Pancasila karena warganya yang terdiri diri tiga pemeluk agama berbeda yaitu Islam, Kristen, dan Hindu telah lama hidup berdampingan dengan harmonis dan rukun.

Desa yang berada di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, ini telah lama dikenal menjunjung tinggi toleransi dalam beragama, sehingga mendapat julukan oleh masyarakat sebagai Desa Pancasila. Desa Balun sendiri terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Balun dan Dusun Ngangkrik. Para warga di Desa Balun terdiri dari tiga pemeluk keyakinan berbeda yaitu Islam, Kristen, dan Hindu hidup guyub dan rukun sejak puluhan tahun di 21 Rukun Tetangga (RT) dengan total penduduk 4.730 jiwa dari 1.234 kepala keluarga (KK). Mengutip Kompas.com, 75% warga Desa Balun memeluk agama Islam, 18% beragama Kristen, dan sisanya beragama Hindu.

Bahkan pada tahun 2019, Desa Balun yang menjadi menjadi salah satu ikon Lamongan ditetapkan sebagai desa wisata religi karena memiliki kesenian dan kebudayaan yang potensial untuk pengembangan wisata dan peningkatan ekonomi lokal. Selain kemajemukan warganya yang hidup rukun dengan rumah ibadah yang saling berdampingan, Desa Balun juga memiliki kesenian karawitan dan agenda tahunan tradisi pawai Ogoh-ogoh yang tidak hanya melibatkan umat Hindu, namun juga umat Islam dan Kristen.

Pada mulanya, mayoritas warga Balun merupakan muslim. Namun setelah tahun 1965 pemeluk agama Kristen dan Hindu pun mulai datang bermukim di Desa Balun. Hingga saat ini harmoni dan toleransi yang begitu tinggi antarwarga di kawasan tersebut pun tetap terpelihara dengan baik dan tidak pernah terjadi konflik atau perselisihan berkaitan dengan agama. Kerukunan dan toleransi di wilayah tersebut, salah satunya tergambar dari tempat-tempat ibadah yang letaknya berada dalam satu kompleks dan saling berdekatan. Di mana terdapat Masjid Miftahul Huda yang letaknya bersebelahan dengan Pura Sweta Maha Suci, sedangkan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Balun berada di sebelah timur masjid.

Pada dasarnya ketika berlangsung kegiatan keagamaan tertentu, maka umat agama lain akan menyesuaikan jadwal agar tak bentrok ataupun mengganggu dan sebagai bentuk saling menghargai. Saat bulan Ramadhan misalnya, umat Hindu mengubah jadwal sembahyangnya menjadi sebelum maghrib tanpa diminta. Sedangkan umat Islam sendiri, tadarus membaca Al-Quran dengan pengeras suara di masjid hanya dibatasi sampai pukul 10 malam agar tidak mengganggu umat lain. Tak jarang pula setiap keluarga ada anggotanya yang memiliki keyakinan berbeda. Namun, perbedaan itu tidak membuat mereka memutuskan tali silaturahmi.

Solidaritas dan toleransi yang hidup di tengah warga Desa Balun tersebut kiranya menjadi salah satu wujud pluralisme dalam kemajemukan beragama di Indonesia. Semoga semangat moderasi beragama dapat terus dilaksanakan oleh berbagai daerah lainnya di Indonesia.

D. Kesimpulan

Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya, atau berbeda agamanya. Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius. Sebaliknya, moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran dan menghormati pemeluk agama yang lain.(cakluk2023)

Tinggalkan komentar